}

Kamis, 09 Februari 2017

TREKKING PUNCAK GIYANTI MAGELANG: BAGI YANG MERINDUKAN SENSASI NAIK GUNUNG

YEPS, buat mak-mak berbuntut yang merindukan sensasi naik gunung sambil mengajak kiddos menjelajah hutan belantara yang menantang dan mengasyikkan tapi masih tetap tidak merepotkan, saya kira Puncak Giyanti adalah perfect place to make your dream comes true. Terletak di antara perbukitan Giyanti di wilayah Kecamatan Windusari, jalur trekking ini bisa dibilang masih baru, baru sekitar 3 bulan dibuka untuk umum dan mulai dikunjungi para wisatawan (baca: petualang). Sebenarnya kami menemukan tempat ini dengan tidak sengaja juga. Kebetulan kami sedang mengunjungi Candi Selogriyo yang tersembunyi diantara perbukitan Giyanti (remember me to post this story of Selogriyo, this place is absolutely awesome!) saat tanpa sengaja melihat setitik kecil bendera merah putih berkibar di puncak bukit, ditemani siluet tenda dome di sampingnya. Langsung deh kami penasaran, siapa kira-kira yang berkemah di puncak bukit yang jauh dari mana-mana itu. Nah, selidik punya selidik, dari informasi bapak penjaga candi, ternyata itu adalah Puncak Giyanti, jalur trekking baru yang baru saja dibuka seminggu yang lalu (kami mengunjungi Candi Selogriyo di akhir Nopember 2016 lalu). Langsung deh antena kami meninggi, dan mencatat trekking Giyanti sebagai the next destination to explore, diantara sekian banyak bucket list wisata puncak-puncak bukit lainnya yang ingin kami datangi.  


Perbukitan Giyanti yang indah dan hijau. The other perfect getaway lagi di daerah Magelang.

BUKIT Giyanti, atau mungkin lebih tepat disebut sebagai perbukitan Giyanti, terletak di lereng Gunung Sumbing di Kabupaten Magelang. Lokasi awal trekking Giyanti terletak di Desa Balesari, Kecamatan Windusari. Cukup mudah mencapai tempat ini. Dari arah Magelang, kita bisa mengambil arah Bandongan menuju arah Windusari. Desa Balesari sendiri terletak tidak jauh dari jalan masuk menuju Candi Selogriyo, sekitar 4 kilometer ke arah Barat (Arah Kecamatan Windusari). Kita bisa dengan mudah menemukan tempatnya karena sudah terdapat papan penunjuk yang cukup jelas untuk wisata Puncak Giyanti. Dari arah jalan besar, kita tinggal mengikuti jalan cor yang cukup bagus melalui tengah perkampungan, tinggal mengikuti arah papan penunjuk jalan menuju tempat parkir, rumah terakhir di kaki bukit sebelum kita mulai mendaki. Karena masih tergolong tempat wisata baru, tempat parkir yang disediakan masih berupa halaman rumah penduduk setempat, yang dikelola oleh pemuda setempat pula, yang dengan antusias bertanya kepada kami dari mana kami mengetahui lokasi trekking Giyanti ini. Di sini kita akan diminta untuk mengisi buku tamu dan membayar retribusi Rp. 2000,- per orang, sudah termasuk biaya parkir kendaraan (murah ya!). Kata masnya sih tempat ini sudah lumayan rame dikunjungi, terutama bagi para pemburu sunrise. Banyak pula yang camping di puncak bukit, terutama kalau malam Minggu atau hari libur (aha!). Masih menurut si mas penjaga parkir, kira-kira diperlukan waktu sekitar 1 jam sampai puncak (kecepatan normal), tapi berhubung kami membawa balita, kami mengestimasi waktu yang dibutuhkan paling tidak 2 kali lipat atau sekitar 2 jam. Si mas juga memperingatkan kami untuk berhati-hati, karena jalanan saat ini licin dan becek, dan karena masih jalur baru, beberapa bagian masih cukup sulit dilewati terutama kalau hari hujan seperti saat kami berkunjung ke sana. Satu hal yang bikin kami terkesan juga, penduduk sekitar ramah-ramah dan baik hati, ala masyarakat pegunungan yang sering kami temui! (ah, jadi kangen lagi nih saya dengan suasana gunung). 

Meet their life. Para pencari rumput yang gigih menjalani hari-hari mereka. 

Jalur pendakian menuju pos I. Masih lumayan enak buat jalan. 

JADI, setelah mengecek perbekalan dan peralatan tempur, jadilah kami mendaki Bukit Giyanti dengan bersemangat. Agak jiper juga sih, karena baru 5 menit jalan, selepas dari perkampungan, kami langsung dihadapkan dengan jalan setapak yang super duper becek dan licin lunar binasa! Untungnya Mbak Qori yang benci lumpur dan tempat kotor itu memakai sepatu (yang jadi penemuan canggih kami untuk mengatasi kerewelan Mbak Qori menghadapi medan yang becek dan berlumpur). jadi dia tidak terlalu mempermasalahkan ketika kami harus berbecek-becek ria. Kondisi seperti ini kami lalui sepanjang sekitar setengah kilometer, sampai akhirnya kami sampai di perbatasan hutan pinus di kaki bukit, tempat jalanan mulai menanjak dengan (agak) serius (walaupun di sana sini masih becek juga sih). Nah, dari kaki hutan inilah kami mulai merasakan sensasi 'naik gunung'. 

Bentar lagi pos I, semangat yak!

ADA dua pos pendakian yang harus kami lalui sebelum sampai puncak. Tidak terlalu jauh sih, masing-masing pos mungkin hanya berjarak sekitar 30 menit berjalan kaki dengan kecepatan normal. Di masing-masing pos ini disediakan bangungan semacam gubug kayu terbuka tempat istirahat (dan berfoto serta menikmati pemandangan), bangku-bangku kayu tempat selonjor, dan sumber air bersih. Lokasinya juga lumayan yahud dan pemandangannya juga enak dilihat kok. Pokoknya sudah kerasa lumayan tinggi deh. Jadi nih, bagi yang minat camping tapi tidak mau jalan terlalu tinggi, atau kebetulan puncak bukit sedang ramai, bisa kok menggelar tenda di Pos I atau Pos II. Lokasinya lumayan enak kok untuk buka tenda (walau nggak tahu sih, apa sunrise kelihatan dari sini). 

Pemandangan dari Pos I. Diambil sore hari pas kami turun, jadi nggak terlalu jelas deh. 

Masih ada Pos Dua. Semangat Kakak!


Menuju Pos II. Semangat Bapak!

Hutan kebon kopi. 

DARI kaki hutan sampai pos I diperlukan waktu sekitar 30 menit jalan kaki, dengan kemiringan yang - yah, lumayan lah (lumayan bikin capek maksudnya, hehe). Jalannya, walaupun ada beberapa bagian yang becek, tapi lumayan enak dilewati. Dari Pos I menuju Pos II juga sama, kemiringannya masih so so, medannya nggak terlalu berat untuk ukuran balita (at least Mbak Qori masih bisa menikmatinya). Selepas Pos II, jalanan agak mulai datar, dan kami melewati perkebunan kopi yang terletak di sela-sela pohon pinus. Kami sudah excited aja tuh melihat pohon kopi dimana-mana, berharap menemukan kopi khas Giyanti yang enak macam Kopi Suroloyo. Tapi, kata ibu di tempat kami parkir motor, kopi-kopi tersebut dikumpulkan oleh tengkulak dan diolah entah dimana. Kami pikir, setelah melewati punggungan bukit ini, kami akan segera sampai di puncak. Tapi ternyata kami salah besar! Begitu deretan pohon kopi habis, terdapat anak tangga yang dibuat dari potongan-potongan kayu yang terlihat masih baru, lumayan curam, menaiki satu lagi punggungan bukit. Kata mas-mas yang kami temui di jalan sih jaraknya masih lumayan jauh, yang bikin kami agak deg-degan juga karena tiba-tiba langit yang cerah berubah agak mendung. Tapi apa mau dikata sudah bertekad baja, kami melanjutkan perjalanan lagi. Dan benar saja, selepas jalan bertangga-tangga ini, kami masih harus memutari punggungan lagi, dan mendaki lagi, and here's the true challenge begin! Punggungan terakhir, jalan setapak menuju puncak yang harus kami lewati, lumayan terjal dan curam. Dengan Mbak Qori bersama kami, kami harus ekstra hati-hati memastikan supaya dia tidak salah langkah atau terpeleset ke bawah. Cerita jadi makin sulit lagi karena jalan setapak itu licin karena hujan. Bagi kami yang dewasa saja sudah harus mengeluarkan tenaga dan konsentrasi ekstra supaya tidak terpeleset, apalagi dengan tambahan balita bersama kami! 


Menuju puncak! 





AND finally, setelah sekitar 20 menit mblakrak-mblakrak (istilah masa muda kami untuk menggambarkan situasi dimana kami harus berjalan dengan segala cara dan upaya), sampailah kami di puncak! Yeay! Lebih gembira lagi karena ternyata di atas bukit ada warung sederhana yang menjual kopi dan teman-temannya (yang ini nih yang bikin Bapak girang setengah mati). Puncaknya, well, nggak seluas yang kami bayangkan sih (yang kata masnya bisa menampung 100 an tenda kalau pas ramai), tapi ini beneran puncak seperti puncak-puncak gunung itu! Haha... Dan dari atas sini, kami bisa melihat puncak-puncak perbukitan giyanti lainnya, termasuk bukit jambul yang memiliki bentuk yang khas itu. Surprisingly, ternyata dari atas kami bisa melihat Candi Selogriyo, tersembul dengan anggun di lembah di bawah kami, masih tersembunyi di antara kaki-kaki bukit Giyanti yang elok nian. Dan beneran lho di atas bukit ada tiang benderanya! 

Puncak! Yeay!
Candi Selogriyo dari Puncak Giyanti. Such a beautiful mystery!
Itu lho tiang benderanya!

Puncak tetangga.
1200 mdpl! Lumayan juga kan!
And its always a good thing to explore new things!


Warung kopi kesayangan Bapak.
Puncak! Puncak! Puncak!


PUAS jalan-jalan dan menikmati pemandangan yang spektakuler, kami memutuskan untuk turun. Si Bapak sudah cemas saja takut kemalaman di jalan, jadi dia mengultimatum maksimal jam tiga seperempat kami harus sudah mulai turun ke bawah. Well, membayangkan susahnya tanjakan terakhir sebelum puncak tadi bikin kami agak jiper juga sih, ngebayangin harus turun dengan menggendong Mbak Qori kalau tiba-tiba saja dia tidak berani (yang untungnya tidak perlu terjadi, karena dari mulai mendaki sampai turun Mbak Qori keukeuh dengan semangat no gendongnya, haha). Kata mas penjaga warungnya sih sebenernya ada juga jalur menuju Wonoroto dari puncak, tapi medannya agak sulit karena jarang dilalui (yang bikin mata kami berbinar-binar dan mencatatnya dalam the next destination). Oya, bagi yang berminat camping, jangan khawatir, warung puncak gunung ini buka 24 jam non stop, jadi kalau kebetulan tidak ada pendaki lain di puncak, jangan khawatir kesepian dan kekurangan suplai kopi atau mie! Atau, bagi para pemburu sunrise, jangan khawatir, si mas pasti dengan setia dan bahagia akan menyediakan kopi dan mie dan minuman hangat lainnya! 

Judulnya adalah: kotor dan bahagia!

PERJALANAN naik kami tempuh selama 2 jam, begitu juga perjalanan turun. Lama banget yak, haha. Seperti yang saya bilang tadi, jalan setapak yang kami lalui super duper licin dan becek dimana-mana, jadi kami harus ekstra hati-hati. Jadilah kami turun dengan kecepatan siput juga, sama seperti naiknya. Ada sih, adegan-adegan kepeleset beberapa kali, tapi yang bikin kami tenang sepertinya Mbak Qori lebih confidence ketika turun daripada ketika naik tadi, padahal menurut kami lebih sulit karena jalan yang ekstra licin dan tanjakan yang lumayan curam, terutama di trek menjelang puncak. Tapi, overall, perjalanan ini mengasyikkan dan bikin nagih. Selain jaraknya yang masih balita-able, medannya cukup menantang dan lumayan memuaskan adrenalin. Bagus juga untuk menantang keberanian anak-anak bereksplorasi di alam bebas.  

Nah, bagaimana? Wanna try? It's always a good thing to explore new things!

Overall rating: 9
Tingkat kesulitan : 8
Suitable for kids : moderate. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar